Ilustrasi by: google.com
Pers
adalah salah satu jembatan informasi yang penting, tugas pers terpenting adalah
memberikan informasi seluas – luasnya kepada masyarakat tentang suatu keadaan
di dalam masyarakat. Pers yang bebas adalah sebuah keniscayaan yang diperlukan
dalam suatu negara yang mengklaim dirinya adalah negara demokratis dan
berdasarkan hukum. Tanpa adanya pers yang bebas maka kontrol dari masyarakat
terhadap jalannya penyelenggaraan negara semakin kecil, dan tanpa ada kontrol
maka kesewenang – wenangan niscaya akan terjadi.
Pers
Indonesia sejak awal, tidak pernah dimaksudkan sebagai pers yang semata – mata berorientasi
pada pengumpulan modal. Seperti halnya kelompok profesi advokat, pers Indonesia
sejak awal telah memposisikan diri sebagai pers perjuangan. Pada masa kemerdekaan
banyak diantara para pejuang kemerdekaan Indonesia telah memandang bahwa pers
menjadi alat yang penting untuk memperjuangkan kemerdekaan. Demikian pula
partai – partai politik yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia juga memandang
penting peran dari pers sebagai salah satu alat untuk mencerdaskan kehidupan
masyarakat dan sekaligus juga menentang hadirnya kolonialisme di bumi Indonesia.
Pers pada saat itu juga menjadi sarana berdiskusi antar para tokoh – tokoh politik
pergerakan kemerdekaan Indonesia. Mereka tidak hanya berdiskusi mengenai cara
dan strategi politik tapi juga mengenai kondisi umum masyarakat Indonesia.
Permikiran dan perdebatan panas antara
para tokoh – tokoh politik tersebut disalurkan
melalui kolom – kolom yang tersedia di
pers.
Sejarah
pers di Indonesia tentu dimulai di Batavia pada 1676 pada saat terbitnya Koran yang
bernama Kort Bericht Eropa (berita singkat dari Eropa). Setelah itu
terbit pula Bataviase Nouvelles pada bulan Oktober 1744, Vendu Nieuws
pada tanggal 23 Mei 1780, sedangkan Bataviasche Koloniale Courant tercatat
sebagai surat kabar pertama yang terbit di Batavia tahun 1810. Dari saat itu
hingga terbitnya Medan Prijaji pada 1903, seluruh pers yang ada di
Batavia menggunakan bahasa Belanda dan berita – beritanya terasa kering.
Namun,
jauh sebelum munculnya Medan Prijaji, kalangan pers di Indonesia telah merasakan
dampak dari pengekangan kebebasan pers dengan munculnya Reglement op de
Drukwerken in Nederlandsch-Indie pada 1856. Kemunculan peraturan tersebut mengindikasikan
bahwa meskipun dalam situasi yang tidak benar – benar bebas, pers yang terbit
pada saat itu dan dikelola oleh orang – orang Belanda, telah membuat kuping
pemerintah Hindia Belanda memerah.
Kemunculan
“Medan Prijaji” pada tahun 1903, merupakan masa permulaan bangsa Indonesia
benar – benar terjun dalam dunia pers. Pemimpin redaksi Medan Prijaji R. M. Tirtoadisuryo
telah menyadari bahwa surat kabar adalah alat penting untuk menyuarakan
aspirasi masyarakat. Hal ini terbukti dari keberaniannya menulis kalimat yang
tertera di bawah judul koran tersebut, Orgaan bagi bangsa jang terperintah
di Hindia Olanda tempat membuka suaranja. Kata terperintah di atas
konon telah membuka mata masyarakat, bahwa bangsa pribumi adalah bangsa yang
dijajah. Tak lama kemudian Tjokroaminoto dari “Sarikat Islam” telah menerbitkan
harian Oetoesan Hindia. Nama Semaun (golongan kiri) muncul dengan
korannya yang namanya cukup revolusioner yakni Api, Halilintar dan
Nyala. Suwardi Suryaningrat A.K.A. Ki Hajar Dewantoro juga telah
mengeluarkan koran yakni Guntur Bergerak dan Hindia Bergerak. Sementara
itu di Padangsidempuan, Parada Harahap membuat harian Benih Merdeka dan Sinar
Merdeka pada tahun 1918 dan 1922. Dan, Bung Karno pun tidak ketinggalan pula
telah memimpin harian Suara Rakyat Indonesia dan Sinar Merdeka di
tahun 1926. Tercatat pula nama harian Sinar Hindia yang kemudian diganti
menjadi Sinar Indonesia.
Gerakan politik pro kemerdekaan yang
dikumandangkan melalui pers inilah yang membuat pada 7 September 1931
pemerintah Hindia Belanda melahirkan peraturan yang dikenal sebagai Presbreidel
Ordonantie. Melihat situasi demikian beberapa tokoh pers Indonesia pada
masa Hindia Belanda berkumpul dan mendirikan Persatuan Djurnalis Indonesia
(PERDI) pada Desember 1933 dan sikap dasar organisasi tersebut menyatakan
dengan tegas bahwa kedudukan pers Indonesia sebagai terompet perjuangan bangsa.
Melihat
kondisi yang makin “memanas” dalam dunia pers Indonesia, maka tidak hanya puas
dengan membekukan dan menutup pers, pemerintah Hindia Belanda bahkan juga memberlakukan,
dalam bentuk yang lunak - peraturan hukum pidana yang keras terhadap para
Pemimpin Redaksi dari pers Indonesia saat itu1. Tindakan dari pemerintah Hindia
Belanda tersebut dapat dimengerti dalam konteks bahwa karena pada dasarnya para
pemimpin redaksi dari pers saat itu sekaligus juga para penganjur yang gigih
dari perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pengalaman – pengalam keras dibawah
pemerintah Hindia Belanda ini pulalah yang
agaknya membuat para pemimpin Indonesia
pada saat hendak mendirikan Negara Indonesia, meski berdebat dan bertentangan
keras dalam soal – soal Hak Asasi Manusia tapi mampu berkompromi dalam soal
kebebasan berkumpul dan berpendapat2. Tak heran jika Wakil Presiden RI, Bung Hatta
pada saat 1954 menyatakan “yang bersuara setiap hari adalah surat
kabar. Sebab surat kabarlah yang mendekati sifat apa yang disebut orang
anggota perasaan umum. Sifat ini hanya dapat dipenuhi oleh suatu surat kabar
apabila ia memberikan kesempatan kepada tiap – tiap orang untuk menyampaikan
pendapatnya secara obyektif, yang benar – benar mencerminkan perasaan rakyat
yang terpendam”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar