Selasa, 10 Desember 2013

Kebebasan Pers Doeloe

Ilustrasi by: google.com

Pers adalah salah satu jembatan informasi yang penting, tugas pers terpenting adalah memberikan informasi seluas – luasnya kepada masyarakat tentang suatu keadaan di dalam masyarakat. Pers yang bebas adalah sebuah keniscayaan yang diperlukan dalam suatu negara yang mengklaim dirinya adalah negara demokratis dan berdasarkan hukum. Tanpa adanya pers yang bebas maka kontrol dari masyarakat terhadap jalannya penyelenggaraan negara semakin kecil, dan tanpa ada kontrol maka kesewenang – wenangan niscaya akan terjadi.

Pers Indonesia sejak awal, tidak pernah dimaksudkan sebagai pers yang semata – mata berorientasi pada pengumpulan modal. Seperti halnya kelompok profesi advokat, pers Indonesia sejak awal telah memposisikan diri sebagai pers perjuangan. Pada masa kemerdekaan banyak diantara para pejuang kemerdekaan Indonesia telah memandang bahwa pers menjadi alat yang penting untuk memperjuangkan kemerdekaan. Demikian pula partai – partai politik yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia juga memandang penting peran dari pers sebagai salah satu alat untuk mencerdaskan kehidupan masyarakat dan sekaligus juga menentang hadirnya kolonialisme di bumi Indonesia. Pers pada saat itu juga menjadi sarana berdiskusi antar para tokoh – tokoh politik pergerakan kemerdekaan Indonesia. Mereka tidak hanya berdiskusi mengenai cara dan strategi politik tapi juga mengenai kondisi umum masyarakat Indonesia.
Permikiran dan perdebatan panas antara para tokoh – tokoh politik tersebut disalurkan
melalui kolom – kolom yang tersedia di pers.
Sejarah pers di Indonesia tentu dimulai di Batavia pada 1676 pada saat terbitnya Koran yang bernama Kort Bericht Eropa (berita singkat dari Eropa). Setelah itu terbit pula Bataviase Nouvelles pada bulan Oktober 1744, Vendu Nieuws pada tanggal 23 Mei 1780, sedangkan Bataviasche Koloniale Courant tercatat sebagai surat kabar pertama yang terbit di Batavia tahun 1810. Dari saat itu hingga terbitnya Medan Prijaji pada 1903, seluruh pers yang ada di Batavia menggunakan bahasa Belanda dan berita – beritanya terasa kering.
Namun, jauh sebelum munculnya Medan Prijaji, kalangan pers di Indonesia telah merasakan dampak dari pengekangan kebebasan pers dengan munculnya Reglement op de Drukwerken in Nederlandsch-Indie pada 1856. Kemunculan peraturan tersebut mengindikasikan bahwa meskipun dalam situasi yang tidak benar – benar bebas, pers yang terbit pada saat itu dan dikelola oleh orang – orang Belanda, telah membuat kuping pemerintah Hindia Belanda memerah.

Kemunculan “Medan Prijaji” pada tahun 1903, merupakan masa permulaan bangsa Indonesia benar – benar terjun dalam dunia pers. Pemimpin redaksi Medan Prijaji R. M. Tirtoadisuryo telah menyadari bahwa surat kabar adalah alat penting untuk menyuarakan aspirasi masyarakat. Hal ini terbukti dari keberaniannya menulis kalimat yang tertera di bawah judul koran tersebut, Orgaan bagi bangsa jang terperintah di Hindia Olanda tempat membuka suaranja. Kata terperintah di atas konon telah membuka mata masyarakat, bahwa bangsa pribumi adalah bangsa yang dijajah. Tak lama kemudian Tjokroaminoto dari “Sarikat Islam” telah menerbitkan harian Oetoesan Hindia. Nama Semaun (golongan kiri) muncul dengan korannya yang namanya cukup revolusioner yakni Api, Halilintar dan Nyala. Suwardi Suryaningrat A.K.A. Ki Hajar Dewantoro juga telah mengeluarkan koran yakni Guntur Bergerak dan Hindia Bergerak. Sementara itu di Padangsidempuan, Parada Harahap membuat harian Benih Merdeka dan Sinar Merdeka pada tahun 1918 dan 1922. Dan, Bung Karno pun tidak ketinggalan pula telah memimpin harian Suara Rakyat Indonesia dan Sinar Merdeka di tahun 1926. Tercatat pula nama harian Sinar Hindia yang kemudian diganti menjadi Sinar Indonesia.
Gerakan politik pro kemerdekaan yang dikumandangkan melalui pers inilah yang membuat pada 7 September 1931 pemerintah Hindia Belanda melahirkan peraturan yang dikenal sebagai Presbreidel Ordonantie. Melihat situasi demikian beberapa tokoh pers Indonesia pada masa Hindia Belanda berkumpul dan mendirikan Persatuan Djurnalis Indonesia (PERDI) pada Desember 1933 dan sikap dasar organisasi tersebut menyatakan dengan tegas bahwa kedudukan pers Indonesia sebagai terompet perjuangan bangsa.
Melihat kondisi yang makin “memanas” dalam dunia pers Indonesia, maka tidak hanya puas dengan membekukan dan menutup pers, pemerintah Hindia Belanda bahkan juga memberlakukan, dalam bentuk yang lunak - peraturan hukum pidana yang keras terhadap para Pemimpin Redaksi dari pers Indonesia saat itu1. Tindakan dari pemerintah Hindia Belanda tersebut dapat dimengerti dalam konteks bahwa karena pada dasarnya para pemimpin redaksi dari pers saat itu sekaligus juga para penganjur yang gigih dari perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pengalaman – pengalam keras dibawah pemerintah Hindia Belanda ini pulalah yang

agaknya membuat para pemimpin Indonesia pada saat hendak mendirikan Negara Indonesia, meski berdebat dan bertentangan keras dalam soal – soal Hak Asasi Manusia tapi mampu berkompromi dalam soal kebebasan berkumpul dan berpendapat2. Tak heran jika Wakil Presiden RI, Bung Hatta pada saat 1954 menyatakan “yang bersuara setiap hari adalah surat kabar. Sebab surat kabarlah yang mendekati sifat apa yang disebut orang anggota perasaan umum. Sifat ini hanya dapat dipenuhi oleh suatu surat kabar apabila ia memberikan kesempatan kepada tiap – tiap orang untuk menyampaikan pendapatnya secara obyektif, yang benar – benar mencerminkan perasaan rakyat yang terpendam”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar